WIRO SABLENG, Petualangan Tiada Akhir

Dari atas bukit itu dia berdiri gagah menatap langit, pada awan-awan yang berarak-arak. Rambutnya panjang sebahu, diikat dengan kain. Bajunya agak kumal, dulu mungkin pernah berwarna putih. Dadanya bidang tertulis rajah angka 212. Sebab dia adalah pendekar sakti Wiro Sableng.

Wiro Sableng yang terlahir dengan nama Wira Saksana merupakan tokoh fiksi rekaan Bastian Tito (23 Agustus 1945 - 2 Januari 2006). Melalui tangannya telah lahir ratusan episode petualangan Wiro Sableng di rimba persilatan. Wiro Sableng dikenal memiliki senjata andalan yaitu sebuah kapak besar bermata dua bergagang berupa seruling dan dengan ujung berbentuk kepala naga. Pada masing-masing mata kapak juga terukir angka 212. Dari mulut ukiran naga dapat menembakkan jarum-jarum beracun dengan jalan menekan tombol rahasia pada kapak. Sedangkan ‘seruling’ di gagang kapak dapat ditiup dan mengeluarkan suara yang sangat dahsyat. Selain itu Wiro juga dikenal memiliki berbagai ilmu kesaktian yang didapat dari guru-gurunya yang berbeda-beda selain dari Sinto Gendeng, yaitu Pukulan Harimau Dewa yang sanggup menghancurkan apa saja tanpa perlu mengeluarkan tenaga dalam, Pukulan Sinar Matahari yang konon dapat melumerkan borgol besi ataupun Pukulan Angin Es yang mampu membuat lawan tak dapat bergerak karena sangat kedinginan.

Sebagai cerita fiktif, Bastian Tito tidak menyebutkan secara eksplisit dari jaman apakah Wiro ini berasal. Hanya misalnya dalam episode Maut Bernyanyi di Pajajaran diperkirakan bahwa tokoh ini memiliki setting waktu di era Kerajaan Pajajaran, meski tidak disebutkan pada masa raja siapa yang berkuasa pada saat itu. Bastian Tito tidak menggambarkan karakter Wiro ini sebagai tokoh yang selalu putih. Namun demikian pada beberapa seri disebutkan juga Wiro berada di era Mataram Kuno.

Di sini digambarkan bahwa Wiro memiliki karakter urakan dan mata keranjang. Beberapa tokoh-tokoh lain juga digambarkan berkarakter abu-abu. Seperti Sang Guru Sinto Gendeng digambarkan sadis, suka membunuh musuhnya dengan kejam, tokoh Tua Gila yang pada masa mudainya doyan meniduri perempuan, kakak beradik Dewa Sedih dan Dewa Ketawa yang sifatnya berubah-ubah.

Meski menggunakan setting tempat di tanah Jawa, terkadang Bastian juga membawa pembacanya melawat ke berbagai penjuru seperti Sumatera, Madura atau Bali, bahkan hingga ke luar negeri Jepang dan Cina. Itu bisa kita baca pada seri Pendekar dari Gunung Fuji maupun Sepasang Manusia Bonsai. Dalam cerita Wiro Sableng ini Bastian sering menggunakan istilah-istilah bahasa daerah seperti mencong, beser. Demikian juga Bastian menciptakan satuan waktu yang mungkin tidak kita temukan dari cerita-cerita persilatan lain seperti sepeminuman teh, sepenanakan nasi, sepelemparan tombak, sepelemparan batu.

Bahkan terkadang Wiro juga dibawa melampaui akal dan logika seperti dikisahkan terlempar pada masa 1200 tahun silam. Di negeri Latanahsilam itu, Wiro bertemu dengan tokoh-tokoh unik dengan ciri-ciri fisik yang juga unik. Misalnya tokoh Hantu Jati Landak yang merupakan perpaduan karakter tumbuhan badannya mirip kayu jati yang lurus, kaku dan kokoh dan hewan dengan kulit dipenuhi duri mirip landak.

Sayang petualangan Wiro ini harus berhenti di tengah jalan karena Bastian Tito kemudian dipanggil menghadap Tuhan. Bastian meninggalkan cerita yang tidak pernah selesai dan pesan seperti yang tertulis di salah satu episode:… Kematian bagian dari semua insan. Nyawa manusia adalah semata milik Yang Maha Pencipta dan Maha Kuasa patut dihormati. Mengapa manusia terkadang bertindak mendahuluiNYA, membunuh manusia lain seolah dia yang menciptakan dan menghidupkannya. Jangan membuat sejuta alasan untuk menghalalkan kematian seorang insan. Sungguh besar tanggungjawab di dunia dan juga di akhirat.

0 komentar:

Posting Komentar

◄ Newer Post Older Post ►
 

Copyright 2011 NAMARA is proudly powered by blogger.com | Design by BLog Bamz Published by Template Blogger

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...